Mengapa seseorang memutuskan untuk berumah
tangga?
Saat pertanyaan ini terlontarkan, maka saya
temukan beragam jawaban, menunjukkan ada yang sudah mengerti akan arti dan
makna dari pernikahan. Namun, tak jarang pula menunjukkan diantara mereka yang tidak
(kurang) mengerti arti dan harga dari sebuah pernikahan.
“Saya ingin punya keturunan!”
“Kebutuhan biologis manusia”
Yang ketiga mengatakan, “Menikah adalah
kewajiban”
“Ingin menyempurnakan hidup”
Sedangkan, yang kelima mengatakan “Disuruh
orang tua”
Begitu pula dengan kaum hawa, “Umur saya
sudah lanjut, takut dibilang perawan tua”, ungkapnya.
“Karena teman-teman saya sudah menikah”
Yang lain lagi mengatakan, “Biar ada yang
kasih makan”
Dari jawaban-jawaban diatas, tergambar
begitulah pemahaman-pemahaman mereka tentang pernikahan. Kalau kita pahami lagi
kehidupan berumahtangga, fase ini harus kita sertai dengan pemahaman yang
realistis agar tidak menciptakan hasil yang negatif.
Ada juga yang mengatakan, “Karena semangat
saling menerima apa adanya”. Yah, model cinta tidak memberi syarat apapun,
memerdekakan. Maka sepasang suami-istri akan saling menerima apa adanya, apapun
kondisinya terkait fisik, materi, dan lain sebagainya.
“Menikah, memuliakan sunnah”, ungkap salah satu pasangan yang baru saja melaksanakan
ijab kabul.
Ada lagi yang mengatakan, “Ingin
menggenapkan dien”.
Berbagai macam alasan mengapa seseorang
menikah, dari yang bersifat lahiriah atau fisik hingga yang bersifat alasan
agama. Hal tersebut memang dibolehkan dalam agama seperti dalam hadits
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang wanita dinikahi karena empat
perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka
pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Dunia adalah kesenangan sementara, dan
sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang shalehah.” (HR.
Muslim)
Dalam hadits tersebut Rasulullah menyerahkan
pilihan kepada setiap orang, tetapi Nabi menggarisbawahi untuk menentukan
pilihannya yang taat beragama, baik calon mempelai pria atau wanita. Dari apa
yang disampaikan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sangat luas sekali
pengertiannya dan dalam maksudnya. Disinilah kunci awal kesuksesan seseorang
dalam berumahtangga atau berkeluarga. Apa yang mendasari seseorang untuk
memutuskan dirinya menikah.
Lalu, apa yang menjadi persiapan
saat mau berumahtangga?
Kembali, pertanyaan ini saya
lontarkan setelah mendapat berbagai alasan seseorang mau berumahtangga.
Tempat?
Dekorasi?
Makanan?
Salon?
Busana pengantin?
Dokumentasi?
Entertainment?
Souvenir?
Yah, sebagian besar dari mereka
meng-iyakan persiapan tersebut.
“Materi yang harus segini supaya
cukup”
Namun, ada juga yang menambahkan,
tidak hanya sekedar materi.
“Ada empat hal yang harus
dipersiapkan, ruhiyah, psikologis, fisik, dan materifisik”, begitu ungkap salah satu pasangan
yang baru saja 2 minggu menggenapkan dien nya.
Salim A. Fillah, yang menikah pada
usia 20 tahun, tapi persiapannya sudah dimulai sejak berumur 15 tahun. Beliau mengatakan
persiapan menikah itu dalam 5 ranah: Ruhiyah, ‘Ilmiyah, Jasadiyah, Maaliyah,
Ijtima’iyah.
Persiapan ruhiyah
(spiritual), pada soal menata diri menerima ujian dan tanggungjawab hidup nan
lebih berlipat, berkelindan setelah menikah. Kemampuan mengelola sabar dan
syukur menghadapi tantangan, semisal tentang pasangan, setiap orang memiliki
lebih dan kurangnya. Aisyah itu cantik, cerdas, llincah, imut. Tapi tak
semua lelaki siap dengan kobar cemburunya nan sampai banting piring didepan
tamu. nikah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan
apa nan diperoleh, menuju nan apa yang akan dibaktikan. Jika nikah masih
terbayang, lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin.
Itu ekspektasi, bersiaplah kecewa. Obsesi nikah adalah bagaimana kau akan
berjuab sebagai suami/ istri, ayah/ ibu untuk mensurgakan keluargamu? Nikah adalah
menata ketundukan pada segala ketentuan-Nya dalam rumahtangga dan
masalah-masalahnya.
Lalu persiapan ‘Ilmiyah-Tsafaqiyah
(pengetahuan). Tentang komunikasi pasangan, sungguh harus diilimui bahwa lelaki
dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala kekhasannya, untuk saling
memahami dan bersinergi. Contoh dalam menghadapi masalah, wanita: berbagi,
didengarkan, dimengerti. Berbeda dengan lelaki, menyendiri, kontemplasi,
rumuskan solusi. Suami pulang dengan masalah berat disambut istri yang memaksa
ingin tahu dan dengar problemnya, padahal ia ingin sendiri dan bersolusi. Lihatlah
Khadijah saat Muhammad pulang dari Hira’ dengan panik dan resah. Dia tak
bertanya, dia sediakan ruang sendiri dan kontemplasi. Bagi suami masalah harus
disederhanakan, bagi istri tiap detail dan keterkaitan sangat penting. Bayak lagi
perbedaan yang jika tak diilmui potensial jadi masalah serius. Kemudian, belum
puas belajar jadi suami/ istri, tiba-tiba sudah jadi ayah/ ibu. Segeralah belajar
jadi orangtua. Anak adalah karunia yang hiasi hidup, amanah, pahala, sekaligus
fitnah (ujian).
Kita masuk persiapan Jasadiyah (fisik).
Periksa dan konsultasilah ke dokter atas kemungkinan segala penyakit,
lebih-lebih terkait kesehatan reproduksi. Fisik kita dan pasangan
bertanggungjawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik. Maka perbaiki daya
dan staminanya sejak sekarang. Target persiapan fisik menikah itu tiga
tingkatan; Primer: sehat dan aman penyakit, Sekunder: bugar dan tangkas,
Tertier: beauty dan charm (:
Selanjutnya, persiapan Maliyah (finansial).
Tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Bekerja itu keutamaan dan
penegasan kepemimpinan suami. Ingat, disini sama sekali tidak bicara berapa
banyak uang, rumah, kendaraan yang harus Anda punya. Ini tentang kapabilitas
hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan kelola sejumlah apapun
ia. Buatlah proyeksi nafkah menikah secara ilmiah dan executable, jangan
masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutan-Nya. Kemapanan
itu tak abadi, bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian
Linda J. Waite (psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan cinta.
Sebuah pernikahan yang utuh,
mempunyai visi dan misi kemasyarakatan untuk menjadi pilar kebajikan ditengah
kemajemukan suatu lingkungan. Untuk itu, mereka yang ingin menikah hendaknya
mengasah keterampilan sosialnya jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian
pendewasaan. Pernikahan kita harus sebagai pengokoh kebajikan masyarakat, bukan
beban ataupun pelengkap derita. Saat walimah nanti, tetangga rumah adalah yang
paling berhak diundang. Target besarnya adalah, menjadikan pintu rumah kita
sebagai yang paling pertama diketuk masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Ringkasnya,
untuk persiapan sosial menikah ini adalah bermampu diri menjadi pribadi dan
keluarga yang aman, ramah, dan bermanfaat (:
Islam telah menjadikan “pernikahan”
sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Hanya dengan
jalan pernikahan, maka akan lahir keturunan secara terhormat. Karenanya,
merupakan hal yang wajar jika pernikahan itu dikatakan sebagai suatu peristiwa
yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrahnya
sebagai manusia. Tentu saja hal itu tidak akan berjalan dengan baik manakala
persiapan menuju pernikahan sangatlah minim kita lakukan. Lalu, apa saja yang
harus kita persiapkan menjelang dan menuju pernikahan? Bagi seorang calon
pengantin (pria-wanita) pastinya harus mengetahui pentingnya ibadah pernikahan
agar dapat bersanding dengan wanita shalihah atau lelaki shalih dalam sebuah
ikatan suci bernama pernikahan.
Pernikahan menuju rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah, wada’wah, tidak akan tercipta dan terjadi sim-salabim
begitu saja, melainkan dibutuhkan persiapan-persiapan secara memadai sebelum
seorang muslim dan muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan. Karena itu,
calon pengantin (pria-wanita) minimal harus mengetahui secara mendalam tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan jelang pernikahan.
Semua persiapan ini, tidak begitu
saja dapat diraih, melainkan perlu waktu dan proses belajar menuju kesana. Karena
itulah, saat kita masih memiliki banyak waktu dan belum terikat nantinya oleh
kesibukan rumahtangga, maka berupaya untuk diri kita menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumahtangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, wada’wah kelak. Wallahu ‘alam (:
Terima kasih saya ucapkan kepada
semua pihak yang telah bersedia diwawancara terkait kesiapannya dalam
menggenapkan separuh dari diennya, semoga senantiasa dalam ridha Allah ta’ala.
Barakallahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar