Minggu, 12 Oktober 2014

MENIKAH?

Mengapa seseorang memutuskan untuk berumah tangga?

Saat pertanyaan ini terlontarkan, maka saya temukan beragam jawaban, menunjukkan ada yang sudah mengerti akan arti dan makna dari pernikahan. Namun, tak jarang pula menunjukkan diantara mereka yang tidak (kurang) mengerti arti dan harga dari sebuah pernikahan.
“Saya ingin punya keturunan!”

“Kebutuhan biologis manusia”

Yang ketiga mengatakan, “Menikah adalah kewajiban”

“Ingin menyempurnakan hidup”

Sedangkan, yang kelima mengatakan “Disuruh orang tua”

Begitu pula dengan kaum hawa, “Umur saya sudah lanjut, takut dibilang perawan tua”, ungkapnya.

“Karena teman-teman saya sudah menikah”

Yang lain lagi mengatakan, “Biar ada yang kasih makan”

Dari jawaban-jawaban diatas, tergambar begitulah pemahaman-pemahaman mereka tentang pernikahan. Kalau kita pahami lagi kehidupan berumahtangga, fase ini harus kita sertai dengan pemahaman yang realistis agar tidak menciptakan hasil yang negatif.

Ada juga yang mengatakan, “Karena semangat saling menerima apa adanya”. Yah, model cinta tidak memberi syarat apapun, memerdekakan. Maka sepasang suami-istri akan saling menerima apa adanya, apapun kondisinya terkait fisik, materi, dan lain sebagainya.

“Menikah, memuliakan sunnah”, ungkap salah satu pasangan yang baru saja melaksanakan ijab kabul.

Ada lagi yang mengatakan, “Ingin menggenapkan dien”.

Berbagai macam alasan mengapa seseorang menikah, dari yang bersifat lahiriah atau fisik hingga yang bersifat alasan agama. Hal tersebut memang dibolehkan dalam agama seperti dalam hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang shalehah.” (HR. Muslim)


Dalam hadits tersebut Rasulullah menyerahkan pilihan kepada setiap orang, tetapi Nabi menggarisbawahi untuk menentukan pilihannya yang taat beragama, baik calon mempelai pria atau wanita. Dari apa yang disampaikan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sangat luas sekali pengertiannya dan dalam maksudnya. Disinilah kunci awal kesuksesan seseorang dalam berumahtangga atau berkeluarga. Apa yang mendasari seseorang untuk memutuskan dirinya menikah.

Lalu, apa yang menjadi persiapan saat mau berumahtangga?

Kembali, pertanyaan ini saya lontarkan setelah mendapat berbagai alasan seseorang mau berumahtangga.

Tempat?

Dekorasi?

Makanan?

Salon?

Busana pengantin?

Dokumentasi?

Entertainment?

Souvenir?

Yah, sebagian besar dari mereka meng-iyakan persiapan tersebut.

“Materi yang harus segini supaya cukup”

Namun, ada juga yang menambahkan, tidak hanya sekedar materi.
“Ada empat hal yang harus dipersiapkan, ruhiyah, psikologis, fisik, dan materifisik”, begitu ungkap salah satu pasangan yang baru saja 2 minggu menggenapkan dien nya.

Salim A. Fillah, yang menikah pada usia 20 tahun, tapi persiapannya sudah dimulai sejak berumur 15 tahun. Beliau mengatakan persiapan menikah itu dalam 5 ranah: Ruhiyah, ‘Ilmiyah, Jasadiyah, Maaliyah, Ijtima’iyah.

Persiapan ruhiyah (spiritual), pada soal menata diri menerima ujian dan tanggungjawab hidup nan lebih berlipat, berkelindan setelah menikah. Kemampuan mengelola sabar dan syukur menghadapi tantangan, semisal tentang pasangan, setiap orang memiliki lebih dan kurangnya. Aisyah itu cantik, cerdas, llincah, imut. Tapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya nan sampai banting piring didepan tamu. nikah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan apa nan diperoleh, menuju nan apa yang akan dibaktikan. Jika nikah masih terbayang, lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin. Itu ekspektasi, bersiaplah kecewa. Obsesi nikah adalah bagaimana kau akan berjuab sebagai suami/ istri, ayah/ ibu untuk mensurgakan keluargamu? Nikah adalah menata ketundukan pada segala ketentuan-Nya dalam rumahtangga dan masalah-masalahnya.

Lalu persiapan ‘Ilmiyah-Tsafaqiyah (pengetahuan). Tentang komunikasi pasangan, sungguh harus diilimui bahwa lelaki dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala kekhasannya, untuk saling memahami dan bersinergi. Contoh dalam menghadapi masalah, wanita: berbagi, didengarkan, dimengerti. Berbeda dengan lelaki, menyendiri, kontemplasi, rumuskan solusi. Suami pulang dengan masalah berat disambut istri yang memaksa ingin tahu dan dengar problemnya, padahal ia ingin sendiri dan bersolusi. Lihatlah Khadijah saat Muhammad pulang dari Hira’ dengan panik dan resah. Dia tak bertanya, dia sediakan ruang sendiri dan kontemplasi. Bagi suami masalah harus disederhanakan, bagi istri tiap detail dan keterkaitan sangat penting. Bayak lagi perbedaan yang jika tak diilmui potensial jadi masalah serius. Kemudian, belum puas belajar jadi suami/ istri, tiba-tiba sudah jadi ayah/ ibu. Segeralah belajar jadi orangtua. Anak adalah karunia yang hiasi hidup, amanah, pahala, sekaligus fitnah (ujian).

Kita masuk persiapan Jasadiyah (fisik). Periksa dan konsultasilah ke dokter atas kemungkinan segala penyakit, lebih-lebih terkait kesehatan reproduksi. Fisik kita dan pasangan bertanggungjawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik. Maka perbaiki daya dan staminanya sejak sekarang. Target persiapan fisik menikah itu tiga tingkatan; Primer: sehat dan aman penyakit, Sekunder: bugar dan tangkas, Tertier: beauty dan charm (:

Selanjutnya, persiapan Maliyah (finansial). Tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Bekerja itu keutamaan dan penegasan kepemimpinan suami. Ingat, disini sama sekali tidak bicara berapa banyak uang, rumah, kendaraan yang harus Anda punya. Ini tentang kapabilitas hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan kelola sejumlah apapun ia. Buatlah proyeksi nafkah menikah secara ilmiah dan executable, jangan masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutan-Nya. Kemapanan itu tak abadi, bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite (psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan cinta.

Sebuah pernikahan yang utuh, mempunyai visi dan misi kemasyarakatan untuk menjadi pilar kebajikan ditengah kemajemukan suatu lingkungan. Untuk itu, mereka yang ingin menikah hendaknya mengasah keterampilan sosialnya jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian pendewasaan. Pernikahan kita harus sebagai pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban ataupun pelengkap derita. Saat walimah nanti, tetangga rumah adalah yang paling berhak diundang. Target besarnya adalah, menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling pertama diketuk masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Ringkasnya, untuk persiapan sosial menikah ini adalah bermampu diri menjadi pribadi dan keluarga yang aman, ramah, dan bermanfaat (:

Islam telah menjadikan “pernikahan” sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Hanya dengan jalan pernikahan, maka akan lahir keturunan secara terhormat. Karenanya, merupakan hal yang wajar jika pernikahan itu dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrahnya sebagai manusia. Tentu saja hal itu tidak akan berjalan dengan baik manakala persiapan menuju pernikahan sangatlah minim kita lakukan. Lalu, apa saja yang harus kita persiapkan menjelang dan menuju pernikahan? Bagi seorang calon pengantin (pria-wanita) pastinya harus mengetahui pentingnya ibadah pernikahan agar dapat bersanding dengan wanita shalihah atau lelaki shalih dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan.
Pernikahan menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, wada’wah, tidak akan tercipta dan terjadi sim-salabim begitu saja, melainkan dibutuhkan persiapan-persiapan secara memadai sebelum seorang muslim dan muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan. Karena itu, calon pengantin (pria-wanita) minimal harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan jelang pernikahan.

Semua persiapan ini, tidak begitu saja dapat diraih, melainkan perlu waktu dan proses belajar menuju kesana. Karena itulah, saat kita masih memiliki banyak waktu dan belum terikat nantinya oleh kesibukan rumahtangga, maka berupaya untuk diri kita menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumahtangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, wada’wah kelak. Wallahu ‘alam (:


Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah bersedia diwawancara terkait kesiapannya dalam menggenapkan separuh dari diennya, semoga senantiasa dalam ridha Allah ta’ala. Barakallahu